EK
"Mencintai angin, Harus menjadi siut
Mencintai air, Harus menjadi ricik
Mencintai gunung, Harus menjadi terjal
Mencintai api, Harus menjadi jilat
Mencintai cakrawala, Harus menebas jarak
Mencintai-MU, Harus menjelma aku"
Siapa yang tidak tahu aku? Aku tegar, aku kuat, dan tidak mengenal rasa takut. Aku angkuh menatap langit yang begitu tinggi, meski sadar tidak akan pernah kugapai, namun aku tetap percaya suatu hari nanti aku akan menjadi bagian dari warna-warna putih dan biru penyejuk hati itu. Mimpi yang sangat mustahil! Begitu kata-kata mereka yang selalu menundukkan wajahnya untuk menatapku.
Hanya senyum getir dan kebencian yang membuatku bertahan. Aku tegar dengan kegelapan. Aku jahat, begitu kata mereka…
Siapa yang tidak tahu aku? Kadang tidak dihiraukan, sering dipermainkan, gampang terinjak karena mereka pikir aku kebal. Dilempar sesuka hati, tak perduli dapat menyakiti. Aku menangis walau tidak ada tetes yang keluar dari rongga-rongga mataku.
Hanya senyum getir dan kebencian yang membuatku sabar. Aku kokoh dan sombong! Ia… benar kata mereka..
Siapa yang tidak tahu aku? Hanya emas, hanya intan, bahkan perakpun tidak mau mengenalku, karena kegelapanku dan tidak berharganya diriku. Aku Batu! Begitu panggilan mereka untukku…
Juni yang hampa, saat memimpikan langit, mendamba dan menikmati sepoi angin sebagai satu-satunya yang mengakui keberadaanku, tiba-tiba titik-titik menyejukkan menggelitik dan menyenangkan, jatuh diatas kepalaku. Aku tak mau peduli, tak butuh dikasihani… namun dia menyusup memenuhi pori-pori kekosonganku, membisikiku dengan janji janji bahwa hidup itu saling mengasihi…
Kepada Hujan, dia yang pertama kali kucintai… menyusup kecelah hati yang senantiasa kulindungi. Kadang datang, kadang pergi, namun aku selalu setia menanti. Kemudian ia datang lagi September ini… terasa sejuk itu lagi, hal yang tidak mungkin dirasakan seorang batu. Hujan, membuatku merasa berharga, membuat hitamku berkilauan dibawah mentari!! Melebihi intan, melebihi berlian… hanya hujan yang membuatku merasa diterima dan sempurna. Namun kali ini Hujan begitu deras, dengan butir-butir runcing yang menyakitkan. Dia tidak hanya menyeruak ke relung jiwaku, tapi juga mengoyak keteguhanku! Hujan menghujam bertubi-tubi, dan tidak berhenti sampai aku hancur berkeping-keping. Dan aku sadar ia tidak pernah perduli dan pergi meninggalkan kenangan yang kini telah mati.
Kembali…hanya senyum getir dan kebencian yang membuatku bertahan. Aku hancur… kau tahu?
Bukan cuma itu, menyusul lumut-lumut penyesalan menggerogoti sisa-sisa keberadaanku. Lalu ada cacing-cacing kelaparan mengejekku dan mengingatkan tentang kesalahanku… mengapa? Alam, kenapa belum puas menguraiku hingga selemah ini? Angin, kenapa berpaling dan bertiup kearah yang lain? Ah… persetan! Aku masih memimpikan langit, karena aku bisa melihatnya hanya saja mustahil untuk menggapainya.
Lalu siapa yang tidak tahu aku? Aku…. Bahkan kini aku tidak mengenal diriku sendiri, begitu asing! Aku kehilangan kekuatanku, harga diriku, ketegaranku, berganti dengan seonggok lemah lembek dan menjijikkan!! Mereka mengejekku tanah… aku tidak peduli lagi, karena seonggok sepertiku hanya akan menjadi lelucon jika menunjukkan dengki.
Hanya senyum iklas yang membuatku tegar. Aku senang akhirnya ada yang peduli, meski dengan raut mengasihani. Lalu ada yang tampak bersimpati, walaupun dibelakang mereka tertawa hi…hi…hi…
Mereka kira aku usai… mereka lega karena hitamku yang membuat kilau mereka pucat kini sirna… “hanya masalah waktu” ejek mereka.
Ia… benar, hanya masalah waktu,, karena sebuah tunas mulai tumbuh diatasku. Hanya masalah waktu untuk membuatnya tumbuh kokoh menjulang dengan batang dan akar yang kuat. Dan ini waktuku untuk menyejukkan emas dan intan dengan daun rindangku. Mentari hanya mau bersinar untukku, dan cahayanya terhalangi untuk mereka. Kini siapa yang lebih gelap? Angin kembali bertiup disekitarku, lalu Hujan? Aku lebih kuat dari yang sebelumnya bahkan melebihi dari apa yang kuharapkan. Hujan tidak bisa merusakku, bahkan ia jatuh dan menyelusup ke dalam tanah, sebuah masa kejatuhan hingga yang paling mendasar!Sadar, ia telah dicampakkan langit....
Sedangkan langit…. Kini ia terlihat lebih dekat, lebih luas dan lebih indah dari sebelumnya! Aku serasa mampu menggenggamnya… Ternyata aku beruntung mengenal Hujan! Tanpa mimpi picisan dan penghianatan yang diberikannya, aku tidak akan hidup tinggi menjulang. Dulu aku hanya bisa menerima namun kali ini aku bisa memberi dan berbagi. Aku senang menjadi diriku seperti sekarang ini, karena jika aku ditebang dan ditumbangkan, aku bisa tumbuh lagi dan lagi!! Karena aku…. Pohon.
"Mencintai angin, Harus menjadi siut
Mencintai air, Harus menjadi ricik
Mencintai gunung, Harus menjadi terjal
Mencintai api, Harus menjadi jilat
Mencintai cakrawala, Harus menebas jarak
Mencintai-MU, Harus menjelma aku"
Siapa yang tidak tahu aku? Aku tegar, aku kuat, dan tidak mengenal rasa takut. Aku angkuh menatap langit yang begitu tinggi, meski sadar tidak akan pernah kugapai, namun aku tetap percaya suatu hari nanti aku akan menjadi bagian dari warna-warna putih dan biru penyejuk hati itu. Mimpi yang sangat mustahil! Begitu kata-kata mereka yang selalu menundukkan wajahnya untuk menatapku.
Hanya senyum getir dan kebencian yang membuatku bertahan. Aku tegar dengan kegelapan. Aku jahat, begitu kata mereka…
Siapa yang tidak tahu aku? Kadang tidak dihiraukan, sering dipermainkan, gampang terinjak karena mereka pikir aku kebal. Dilempar sesuka hati, tak perduli dapat menyakiti. Aku menangis walau tidak ada tetes yang keluar dari rongga-rongga mataku.
Hanya senyum getir dan kebencian yang membuatku sabar. Aku kokoh dan sombong! Ia… benar kata mereka..
Siapa yang tidak tahu aku? Hanya emas, hanya intan, bahkan perakpun tidak mau mengenalku, karena kegelapanku dan tidak berharganya diriku. Aku Batu! Begitu panggilan mereka untukku…
Juni yang hampa, saat memimpikan langit, mendamba dan menikmati sepoi angin sebagai satu-satunya yang mengakui keberadaanku, tiba-tiba titik-titik menyejukkan menggelitik dan menyenangkan, jatuh diatas kepalaku. Aku tak mau peduli, tak butuh dikasihani… namun dia menyusup memenuhi pori-pori kekosonganku, membisikiku dengan janji janji bahwa hidup itu saling mengasihi…
Kepada Hujan, dia yang pertama kali kucintai… menyusup kecelah hati yang senantiasa kulindungi. Kadang datang, kadang pergi, namun aku selalu setia menanti. Kemudian ia datang lagi September ini… terasa sejuk itu lagi, hal yang tidak mungkin dirasakan seorang batu. Hujan, membuatku merasa berharga, membuat hitamku berkilauan dibawah mentari!! Melebihi intan, melebihi berlian… hanya hujan yang membuatku merasa diterima dan sempurna. Namun kali ini Hujan begitu deras, dengan butir-butir runcing yang menyakitkan. Dia tidak hanya menyeruak ke relung jiwaku, tapi juga mengoyak keteguhanku! Hujan menghujam bertubi-tubi, dan tidak berhenti sampai aku hancur berkeping-keping. Dan aku sadar ia tidak pernah perduli dan pergi meninggalkan kenangan yang kini telah mati.
Kembali…hanya senyum getir dan kebencian yang membuatku bertahan. Aku hancur… kau tahu?
Bukan cuma itu, menyusul lumut-lumut penyesalan menggerogoti sisa-sisa keberadaanku. Lalu ada cacing-cacing kelaparan mengejekku dan mengingatkan tentang kesalahanku… mengapa? Alam, kenapa belum puas menguraiku hingga selemah ini? Angin, kenapa berpaling dan bertiup kearah yang lain? Ah… persetan! Aku masih memimpikan langit, karena aku bisa melihatnya hanya saja mustahil untuk menggapainya.
Lalu siapa yang tidak tahu aku? Aku…. Bahkan kini aku tidak mengenal diriku sendiri, begitu asing! Aku kehilangan kekuatanku, harga diriku, ketegaranku, berganti dengan seonggok lemah lembek dan menjijikkan!! Mereka mengejekku tanah… aku tidak peduli lagi, karena seonggok sepertiku hanya akan menjadi lelucon jika menunjukkan dengki.
Hanya senyum iklas yang membuatku tegar. Aku senang akhirnya ada yang peduli, meski dengan raut mengasihani. Lalu ada yang tampak bersimpati, walaupun dibelakang mereka tertawa hi…hi…hi…
Mereka kira aku usai… mereka lega karena hitamku yang membuat kilau mereka pucat kini sirna… “hanya masalah waktu” ejek mereka.
Ia… benar, hanya masalah waktu,, karena sebuah tunas mulai tumbuh diatasku. Hanya masalah waktu untuk membuatnya tumbuh kokoh menjulang dengan batang dan akar yang kuat. Dan ini waktuku untuk menyejukkan emas dan intan dengan daun rindangku. Mentari hanya mau bersinar untukku, dan cahayanya terhalangi untuk mereka. Kini siapa yang lebih gelap? Angin kembali bertiup disekitarku, lalu Hujan? Aku lebih kuat dari yang sebelumnya bahkan melebihi dari apa yang kuharapkan. Hujan tidak bisa merusakku, bahkan ia jatuh dan menyelusup ke dalam tanah, sebuah masa kejatuhan hingga yang paling mendasar!Sadar, ia telah dicampakkan langit....
Sedangkan langit…. Kini ia terlihat lebih dekat, lebih luas dan lebih indah dari sebelumnya! Aku serasa mampu menggenggamnya… Ternyata aku beruntung mengenal Hujan! Tanpa mimpi picisan dan penghianatan yang diberikannya, aku tidak akan hidup tinggi menjulang. Dulu aku hanya bisa menerima namun kali ini aku bisa memberi dan berbagi. Aku senang menjadi diriku seperti sekarang ini, karena jika aku ditebang dan ditumbangkan, aku bisa tumbuh lagi dan lagi!! Karena aku…. Pohon.
MATA
Ia sebenarnya protes pada Tuhan, mengapa Beliau itu memberikan sepasang mata untuk melihat tapi dengan kemampuan yang terbatas? Mata bisa melihat betapa hitamnya kulit seseorang atau betapa memuakkanya sebuah wajah dan tubuh untuk dipandang. Entahlah, apakah sifatnya juga seburuk rupanya? Ia tentu saja, sesuai keinginan mata-mata yang melihatnya. Ia tak punya pilihan lain lagi selain menjadi apa yang mereka nilai, karena dengan itulah ia merasakan keberadaannya. Ia baik hati pada dasarnya, tapi mengapa? Mata-mata itu menilai kebaikannya hanyalah hangat-hangat tai ayam?
“Ah...aku lebih nyaman jika ia jahat seperti rupanya” kata sepasang mata berwarna cokelat dengan iris yang begitu gelap. Mata yang begitu indah dan sepertinya alergi sekali melihat hal-hal yang buruk.
“Mumpung ia sedang bertobat, kenapa tidak kita manfaatkan saja kebaikannya? Toh kita juga membantu Tuhan untuk menguji mentalnya?” kata sepasang mata lain, yang dihiasi bingkai bening. Pantas saja mata ini lebih buta karena dihalangi benda bening yang sarat ilusi itu.
“Hahaha.... kapan kita tidak pernah memanfaatkan orang baik?” sambung sepasang mata lain yang dihiasi bulu mata lentik, dan tanpa lelah ia terus berkedip-kedip karena begitu bangganya.”ironisnya, kita yang indah-indah ini yang selalu dinilai baik. Perlu usaha yang lebih keras lagi bagi mereka yang terlahir buruk untuk dinilai baik.”
Yah... begitulah mata dengan sejuta nilai absolute akan realita,dingin dan tanpa rasa. Harus bagaimana lagi? Toh kekuatan penilaian mata-mata itu begitu hebatnya, hingga bisa mengalahkan kepercayaan dirinya sendiri. Serasa mahluk yang perlu di daur ulang saja agar sedikit lebih enak dilihat. Kenapa? Ia tidak pernah meminta kepada Tuhan untuk menjadikannya tampak buruk. Apakah ini adalah salah ayah dan ibunya karena tidak bisa memeliharanya dengan benar sehingga ia tumbuh menjadi sosok yang susah diterima mata sehat? Atau mungkin keberadaannya ini merupakan sebuah kesalahan karena sosoknya begitu enak dipakai lelucon. Haha... atau mungkin ia terlahirpun ternyata hanyalah sebuah lelucon!! Lalu kemana lagi kakinya harus menapak agar dunia bisa menerimanya? Yah...sebuah rawa dan hutan belantara dengan sepi yang senantiasa setia menyambut hadirnya, atau kembali saja ke dalam tanah, air, udara dan panas yang telah gagal membentuk dirinya tidak seperti manusia-manusia lain yang sempurna.
Namun ia tidak menyerah, untuk tetap menjadi baik, seperti apa yang ia baca dalam buku.. bukan untuk apa-apa... ia hanya ingin dilihat bahwa ia juga seorang manusia, mempunyai nama cantik untuk disebut dan bukan mahluk mutasi, badut, celeng atau apalah julukan-julukan kreatif lain untuknya. Bodohnya Ia juga tetap percaya pada hal-hal yang sudah mulai tidak berlaku dalam kehidupan nyata ini. Tentang rasa, tentang ketulusan....Tapi ia sudah tidak tahan, benar-benar muak! Ia mulai bangkit dengan cemoohan sebagai cambuk motivasi utamanya. Dulu setiap usaha adalah beban yang berat, yang menghasilkan canda tawa dari mata-mata itu. Diremehkan sudah menjadi makanan basi baginya. Namun kali ini usaha itu terasa begitu menyenangkan! Tentang bagaimana piagam-piagam itu telah mengangkat derajatnya, atau bagaimana terhormatnya ia mengenal orang-orang berjiwa besar, dan untuk pertama kalinya ia merasa bangga terhadap dirinya sendiri.
“ Ternyata mempunyai mata itu begitu nikmat! Terutama saat melihat mata-mata sedih dan menyesal itu dari ketinggian ini” katanya dengan senyum skeptis.” Mataku juga telah dimodifikasi dengan hati, jadi aku bisa tahu mana kawan-kawan sejati, dan mana yang patut dibenci.”
Ah... mata.... ia menyesal telah protes pada Tuhan, terhadap semua keluhan-keluhan bodohnya. Tuhan memang memberikan sepasang mata untuk melihat dengan kemampuan terbatas, namun pengalaman hidup, suatu kejatuhan, keterpurukan dan apapun itu, ternyata merupakan proses yang nantinya akan membuat mata itu istimewa! Jadi tinggal pilih mana yang ingin di upgrade, mata dengan hati, mata dengan logika, mata duitan, mata keranjang. Hahaha... ini baru segelintir cerita tentang mata... lalu bagaimana dengan organ tubuh lainnya? Ckckck... hidup itu begitu busuk jika tidak benar-benar dimaknai dengan hati, jadi nikmati sajalah pertunjukan yang ada.
cuk
PERANG
Saat ego memaksa untuk hidup dalam kata-kata
Biarlah aku menjadi benar hanya untuk diriku sendiri
Mengapa kebaikan dan keburukan itu harus diperdebatkan? Sudah sucikah kalian hei orang-orang yang merasa diri yang paling baik sehingga bisa menyalahkan dan memandang betapa nista dan buruknya sifat-sifat orang lain? Ketika Tat Twam Asi hanya jadi teori. Subha dan Ashubha Karma hanya menjadi bahan diskusi sehingga menjadi susah untuk disadari. Terdengar ramai sekali decak-decak simpati itu, hei orang-orang yang terlalu bangga akan anggapan bahwa begitu putihnya jalan tempat kalian melangkah.
Jalanku terjal, penuh duri dan bebatuan. Sifat manusiaku memaki dan mengutuk hanya untuk dunia dan keberadaan diriku sendiri, tapi mengapa kalian suka sekali mengurusi?
Sungguh sekarang aku begitu paranoid membaca buku-buku keagamaan itu, karena saat ku membuka mata dan melihat orang sekitar yang juga pernah belajar dari buku-buku tersebut begitu terpaku pada kebenaran mereka yang universal. Memang benar ajaran-ajaran dan sebuah keyakinan, bahkan tak tercela sedikitpun. Tapi mengapa karakter yang terbentuk begitu fanatik? Kemudian muncul perkembangan interpretasi bahwa ia dan mayoritaslah yang paling benar. Oke, seorang Hitler merupakan teroris sepanjang hayat yang begitu bengis membantai kaumnya sendiri, akan tetapi mengapa usaha seorang budak untuk menjadi tinggi dan membebaskan kerja rodi dari orang-orang yang pernah senasib dengan dirinya begitu tidak dihargai? Kemudian Si Sekuni, tanpa politik dan kepiawaiannya dalam ilmu ketatanegaraan, stabilitas kerajaan Astina Pura tak akan tercapai walau hanya sedikit pengaruh yang bisa diimplementasikan darinya. Hanya terbakar ambisi dan keinginan untuk mengangkat orang-orang sepihak yang mendukung pembenarannya, Ia terpatri buruk dalam setiap kisah kepahlawanan. Beruntung Einstein lahir dan berani bicara mengenai relativitas. Teori seorang penemu yang berefek hancurnya Hiroshima dan Nagasaki mengapa tetap bisa dipuja-puja? Maka benarlah relativitas. Bahwa mata dan sudut pandangmu, ia dan mereka begitu berbeda.
Sudah hukum alam seorang manusia yang berkembang di zaman ini menghindari perbuatan kali. Namun terkadang mata dan hati tidak akan selalu tetap terjaga dan mawas diri. Jalan pikiran manusia begitu anonim, dan orang lain tidak akan pernah bisa memahami bahkan dirinya sendiri. Pembenaran dan adaptasi diri akan selalu ada, entah itu salah ataukah ada terkandung sedikit kebenaran di dalamnya. Karena aku tidak bisa menjadi seperti ini dan seperti itu atau apa yang diinginkan oleh ia dan mereka. Aku hanya bisa menjadi diri sendiri, menikmati setiap ego dan benci.
Setiap orang pasti akan terjatuh dan tenggelam pada karmanya sendiri, tunggu dan sabar… hanya masalah waktu. Aku memahami keinginginan kalian wahai orang-orang yang menganggap dirinya paling baik untuk segera bereaksi, seorang yang entah mengapa selalu dinilai buruk dan cenderung untuk menikmati keburukan tersebut karena saking sudah terbiasanya sepertiku bisa juga berfikir bahwa kemenangan pastilah hanya untuk orang-orang baik. Jangan khawatir, semua sudah menjadi tradisi bukan? Aku bahkan menunggu keterpurukanku yang sepertinya sudah dimulai ini. Aku sudah mulai berkabung kawan!!! Bukankah ini hal yang menggembirakan?
*cuk*
SEKUNI OH SEKUNI
Sekuni Oh Sekuni…..
Bersemayam dalam kertas polos
Pondasi cendikia
Lalu gelap khilaf tertelan jahat
Sekuni Oh Sekuni….
Busuk
Hitam
Telah sesat
Dibenci
Cari mati
Licik
Ah…. Keadaan….
Sekuni Oh Sekuni….
Dalam jiwaku….
Merambat
Berbenih
Menyebar
Membatu angkuh….
“Pride is the beginning of fall” begitu kata seorang sahabat.
Benar sekali…. Aku sudah beberapa kali mengalaminya, bahkan terlalu sering terjatuh karenanya…
Benar-benar orang bodoh yang sejati! Jadi teringat akan filosofi asap yang menjadi canduku akhir-akhir ini. Ia akan senantiasa melayang namun akan menghilang tanpa pernah bisa menyentuh langit.
Aku tak pernah kapok, padahal baru-baru ini aku telah berdiri dalam lingkaran orang penuh kebanggaan namun bergema kesombongan itu. Betapa piciknya saat ingin rasanya kusodorkan cermin ke batang hidungnya dan berkata dalam nafas busukku bahwa diatas langit masih ada langit… bahkan masih ada atmosphere, mesosphere, stratosphere, atau termosphere. Ia bodoh ingin melampaui langit yang hampa dan kosong itu. Ingin terbakar lalu berdebu dan menjadi “bukan apa-apa” kah Ia seperti langit? Langit yang membuat angan-angan dan mimpi itu melayang tanpa makna? Ia hanya berbicara ketinggian! Bukan makna…. Ketinggian itu goyah! Percayalah wahai Sang Termasyur…..
Maka aku melupakan niatku untuk mentertawakan kejatuhan manusia sombong itu. Yang membumbung tinggi dengan sayap-sayap kebanggan yang terlampau rapuh…
Kini aku hanya akan bercermin pada diri sendiri. Aku juga sadar karena terlalu terlena dengan kesombonganku. Dan sepertinya telah banyak sekali orang kesal karenanya. Percuma mencari pembenaran, bukankah kalian lebih suka menganggap itu adalah suatu kesengajaan? Ayo… galilah lebih banyak lagi kotoran-kotoran yang akan kalian lemparkan kewajahku. Buatlah aku malu dan bersalah!! Aku akan senang… saat bagaimana kotoran itu ternyata tersangkut disela-sela kuku kalian, lalu dipakai makan bermuara dalam usus kemudian membuat kalian jatuh sakit… hahahaha…. Tat Twam Asi… kita sama-sama menderita kawan…
Aku ada untuk menyadarkan kalian, bahwa hidup itu adalah sebuah roda. Kadang berada diatas, kadang berada dibawah. Biarlah aku menikmati dulu ketinggianku, dengan caraku yang sama sekali pada dasarnya tidak ada merugikan kalian. Sabar saja wahai kawan-kawanku yang selalu ingin dihormati kecuali para sahabat sejati. Aku juga sedang menanti kejatuhanku, sama seperti serapah kalian akan keterpurukanku. Hanya masalah waktu. Karma….
Ah dasar manusia…. Mengapa kebanyakan tidak ada yang berbahagia saat orang lain bahagia?
Jadi, saat ku terperosok lagi, mari kita tertawa dan berbahagia bersama. Aku akan menikmati setiap ekspresi sumringah kalian saat berada nun jauh diatas sana, dan aku akan tersenyum gembira disini bersama ganjaran yang akan melahirkan sebuah kesadaran. Yang kuperlukan hanya pencerahan! Itu saja! Hahahaha…. Hidup itu menyenangkan bukan?
Sekuni Oh Sekuni…
Selalu berpikir, mengapa putih itu transparan? Kapan ia berjodoh dengan kebaikan? Ah… ia sudah terbiasa dikenal tokoh kejahatan. Hitam tak akan semudah itu kembali putih. Kembali putihpun ia pastikan rindukan gelap.
Sekuni Oh Sekuni
Nokturnal
Itu Aku… kau tahu?
NOCTURNE “Sepotong Malam”
Aku tak mau perduli lagi… Akan semua hujatan atau nilai dari Si Pencari Kesalahan. Harus diakui bahwa setiap orang punya pembenaran, namun seringkali yang terbanyaklah sang pemenang. Ah… apalah arti menang dan kalah? Semua hanyalah kata yang sempat diberikan hidup kemudian untuk dikonsumsi bagaimana rasa dari kehidupan dari kata-kata tersebut hingga habis. Kadang tetap bisa terngiang dalam angan terkadang berusaha untuk dilupakan.
Yang kucari bukan sebuah jawaban… namun makna… biarlah mereka menyalahkan, namun aku akan tetap menjadi benar hanya untuk diriku sendiri. Ini adalah aku dan pikiranku, dengan keliaran yang melanggar pengetahuan yang ada. Ah… siapa peduli akan reaksi yang akan terjadi dibandingkan rengekan-rengekan pikiranku yang begitu menyiksa, yang selalu menuntut untuk dilahirkan dalam rangkaian kata-kata. Aku sudah lama mengandung mereka dengan keraguan dan pertimbangan dan kini mereka muncul dari rahim jiwaku yang tidak hanya merontokkan bok akatih (sehelai rambut red).
Kepada sebuah pencerahan… atau mungkin ini adalah ketersesatan?
Biarlah jawaban menjadi perdebatan…
Kini aku lebih bisa menghargai sebuah pertemuan dan memaknai setiap perpisahan. Bagaimana dengan penyesalan? Ternyata itu hanya bumbu untuk memicu sebuah senyuman.
Kini aku digoda bagaimana nikmatnya sebuah nafas, dan gairah sebuah denyut. Aku begitu merindukan bara yang sekarang kian meredup. Ah… hidup… seandainya aku bisa lebih menghargai setiap detik yang tersisa untukku..
Seharusnya saat senyum kala seorang bayi lahir, bayi itu tidak menangis tapi tertawa karena begitu bahagianya melihat dunia. Lalu saat ada tangis kala tubuh mendingin meninggalkan kehidupan, jiwa itu tidak bahagia akan tetapi turut berduka cita. Mengapa hal yang berlawanan selalu hidup berdampingan? Biarlah jawaban menjadi perdebatan….
Kini dalam tubuh plasma ku, kuperhatikan baju-baju hitam itu…. Ibu, jangan menangis… Ayah juga… karena pasti ada rasa bersalah yang mengikat tubuh halusku ini. Kepada adik-adikku, kini tugas kalianlah untuk membahagiakan mereka, karena aku begitu banyak keterbatasan untuk bisa kalian lihat dan kalian raba. Namun aku yakin kalian akan senantiasa bisa merasakanku… aku akan selalu hidup dalam kenangan kalian bukan?
Kumohon jangan rusak kebahagiaanku, karena kulihat kawan-kawan lamaku juga datang. Aku begitu senang bisa melihat mereka setelah sekian lama tidak pernah bertemu, walau sayangnya kembali aku harus menikmati senyum-senyum getir itu. Sudahlah kawan… aku begitu beruntung pernah ada kalian di hidupku, sahabat-sahabat yang selalu mengulurkan tangan untukku saat ku terpuruk dan jatuh.
Lalu kakiku melayang memeluk sebuah sosok. Kekasihku…. Orang yang paling kucintai sekaligus kubenci… Apa kabar? Bisikku. Namun yang kurasakan hanya nafas berat yang tertahan. Aku tidak begitu peduli dengan perasaanmu saat ini, karena cinta itu kembali kurasakan dalam tubuh hampa ini. Adakah hal lain yang lebih membahagiakan saat kekosongan ini kembali terisi?
Hihihi…. Kekasihku lucu sekali! Lalu aku mengecup keningnya sekali lagi.
Kemudian pikiranku tertuju pada sebuah dipan dengan lentera minyak. Ah itukah cahaya kehidupanku? Begitu lemah sekali ternyata… kembali aku teringat masa-masaku yang berkobar. Takut api kecil itu akan tertiup angin dan mati, adikku melindunginya dengan jemarinya yang masih mungil. Aku terharu…
Lalu tubuhku…. Entah mengapa aku mencium tubuhku begitu wangi? Ah… rupanya aku sudah mandi. Aku tidak pernah tahu betapa cantiknya tubuhku itu. Padahal dulu setiap hari aku bercermin, namun selalu ada hal yang membuatku lupa dari bayangan cermin itu bahwa aku harus selalu bersyukur akan lengkapnya anggota tubuhku.
Dulu aku mencintai warna-warna hitam itu sebagai kain penutup tubuhku, namun aku tidak pernah mengira warna putih juga begitu cocok untukku. Dan satu hal yang membuatku mengiklaskan tubuh yang tiba-tiba redup begitu saja saat seharusnya aku membuka mata dan menghirup udara dipagi itu adalah saat tahu sebuah senyum mengembang untukku. Sedang tidurkah aku? Ah… sedikit pangling. Aku mati….
Mati? Benarkah? Ah… tidak ada yang namanya kematian!! Satu hal yang ku ingin mereka ketahui bahwa aku tidak pernah mati… aku hanya berubah bentuk… dalam angin, dalam air, tanah, dan mentari. Bisakah kalian mempercayainya? Jika tidak, saat kalian berteduh disebuah pohon, lalu angin bertiup dan dedaunan bergetar, yakinlah bahwa saat itu aku sedang menyapa kalian.
*cuk*
NOCTURNE 2 “Eternity Path”
Dengan tubuh plasmaku, bening dan mustahil tersentuh… aku berani menyatakan bahwa tak ada yang namanya kematian! Siapa yang akan peduli? Kata-kata yang keluar dari mulut yang penuh kepercayaan itu hanya akan menjadi kafilah. Bagai debu yang diterpa angin…. Berlalu….
Apalah arti sebuah perdebatan? Karena semuanya akan berhilir kepada makna.
Di tempatku berdiri disamping tubuh dinginku aku mulai kebingungan. Plasmaku… satu-satunya hal yang membuat keberadaanku bisa diakui di dunia ini, perlahan meleleh dalam percikan tirta yang tak sengaja menerpa kehampaanku. Kemudian memudar dalam semilir angin yang juga menggoyangkan lentera simbol penuntun jalanku.
Lalu harus kemanakah aku sekarang? Aku menunggu yang namanya malaikat kematian. Namun ia tak kunjung datang.
Keraguanku semakin besar… sementara kini aku perlahan tak merasakan lagi apa bentukku. Hei! Dimana surga dan neraka? Tanyaku kepada seorang pendeta yang sedari tadi terus melantunkan mantra. Doa itulah yang membuat jiwaku tetap hangat.
Aku butuh petunjuk! Aku tergantung pada jawaban itu…
Semasa hidup aku adalah orang yang penuh tujuan, namun sekarang memilih alam baka pun terasa begitu memusingkan! Pantas saja banyak dari roh yang sliwar sliwer itu tampak begitu penasaran. Aku butuh penuntun! Mana sang juru selamat? Lalu para roh leluhur? Padahal sejak kecil aku selalu diajarkan untuk berbakti pada mereka… Tuhan…
Ya… Tuhan… seharusnya aku bisa melihatNya! Bukankah dengan bentuk seperti inilah Tuhan itu bisa dilihat? Tapi dimana Ia?
Kebingungan ini hanya aka membuatku semakin tak karuan. Aku tak membutuhkan jawaban itu lagi! Aku tak perlu penuntun! Aku tak ingin bertemu Tuhan!!
Aku ingin bertemu dengan diriku sendiri… siapa sebenarnya aku?
Aku…bukan diriku yang sesungguhnya. Ini adalah kehendak karma! dimana harus kucari diriku itu?
Lalu kutanya asap dupa yang melayang sendu lalu menghilang di ketinggian tertentu… Ya.. disanalah … aku telah menemukan apa yang kucari! Betapa bahagianya! Ia… memang tak terlukiskan dengan kata-kata… bahkan tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Aku sedang berhadapan dengan Aku Yang Sejati….
Apa yang aku inginkan?
Kemanakah aku sekarang?
Aku tidak ingin penasaran!
Namun Ia hampa… aku tak bisa tahu apa perasaannya… ternyata bertemu diri sendiri pun tak ada gunanya! Ia kosong… lebih gamang dari yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Tapi mengapa Ia bisa ada?
Lebih baik buang saja keyakinan itu!
Tidak!! Ini karma yang berbicara… bukan aku! Aku ingin kepastian… kumohon….. saat sudah tak ada lagi yang bisa kutemukan, aku tak ingin ada keraguan lagi…
Ya… dia Aku…Tuhan yang diperuntukkan hanya untukku….
Sebuah kesadaran menuju pencerahan…
Biarlah jawaban menjadi perdebatan…
Ternyata aku tak menginginka apapun! Biarlah bersatu dalam hangat, deru dan debu. Hampa adalah pilihan namun itulah satu-satunya jalan. Kebingungan perlahan menghilang, lalu butuhkah aku surga dan neraka? Tidak…. Semuanya sudah kualami dalam penderitaan dan kebahagiaan dunia. Aku hanya ingin kosong dan tak terpikirkan…. Kepada alam, biarlah aku mengisi rongga-rongga kehidupan, mengalir dalam setiap nafas atau gema denyut jiwa…..
*cuk*
KEPADA KELEDAI
Entah mengapa pencerahan itu datang begitu cepatnya dalam kesadaranku… atas semua dengki dan niat balas dendam yang selalu menjadi fantasi-fantasi liarku. Tuhan itu pasti akan selalu mengabulkan setiap doa dan keinginan, tidak memperdulikan adanya karma ataupun usaha. Semuanya hanya masalah waktu. Sama seperti bagaimana mulut, mata, dan peringai orang-orang itu yang telah menggelapkanku, menyesatkanku, kemudian yang membuatku terjebak dalam penyesalan selama bertahun-tahun. Hanya dengan niat dan keinginan yang sebenarnya sudah lama terlupakan, bahwa aku akan tertawa sepuas-puasnya saat melihat penderitaan mereka, Ia memulai pertunjukan itu. Pertunjukan yang jauh melebihi sinetron atau film-film picisan.
Disini, aku duduk di kursi Parodi… sedangkan mereka sedang pentas di panggung Tragedi… Sungguh menyenangkan! Betapa bahagianya! Aku begitu menikmati pertunjukan itu pada awalnnya. Tertawa terbahak-bahak, sampai nafas tersengal-sengal. Tuhan begitu baik, karena membiarkan roda kehidupanku berjalan begitu lambat. Lama kesedihan, sakit hati, terhina dan rentan dibenci kurasakan sampai bosan, namun kini berganti menjadi gelak tawa yang tak bisa terputus, meski beberapa kali mengalami kejatuhan, namun selalu ada keberuntungan yang dapat mengembalikan seringai kemenanganku. Lama-lama bosan juga… Apakah aku bahagia?
Tidak!! Itu hanya sebuah kesenangan! Kepuasan. .. sementara pertunjukan masih tetap berlanjut, aku tidak dapat memungkiri bahwa kini aku bersimpati pada penderitaan mereka. Senyum itu kini tak lagi menyenangkan. Aku sadar Ia ingin ku belajar untuk memahami badan-badan tak bermakna dimana hanya mengikuti kehidupan yang “persetan apa itu norma dan agama”. Seonggok tulang dan daging yang telah menyeretku dalam kepahitan telah menambah makna dalam kehidupanku. Entahlah…. Kesadaran itu selalu datang seperti air yang mengalir, dan selalu ada hal-hal yang mengingatkanku untuk selalu bersyukur. Apakah aku bahagia?
Ia… aku bahagia dalam serba keterbatasan,,, kini ku selalu tersenyum dalam setiap cobaan, dan betapa aku mensyukuri nikmatnya sebuah kejatuhan atau indahnya sebuah kegagalan. Hampa itu kini telah terisi oleh berjuta-juta rasa. Kini tidak ada hitam dan putih, namun ternyata ada begitu banyak warna. Hei…! Sampai kapan kalian tenggelam dalam jurang itu? Aku sudah berhasil sampai diatas, dipermukaan…. Dan bukannya terkungkung di lubang hitam. Dan kalian salah… aku bukan asap yang senantiasa naik namun menghilang di ketinggian tertentu…
Kepada orang-orang dimasa lalu yang pernah menghantui kehidupan baruku, hm… berbahagialah, karena dengan itu kalian akan duduk bersamaku di kursi ini dan menonton mereka yang juga pernah menyakiti kalian di panggung Tragedi itu. Sadarlah ini sebuah siklus! Jika suatu saat kalian duduk disampingku hal yang ingin kusampaikan adalah
“Pertunjukan kalian bagus! Aku terhibur! Kesakitan itu begitu nikmat bukan? Sudah lama sekali tidak kurasakan, jika kurasakan lagi pun tidak ada gunanya, karena aku sudah kebal!! Dan…Betapa beruntungnya aku bertemu orang sebrengsek kalian. Ini pujian Lho….”
Ahihihihihihihihi….. sadarlah hei sarwa gumatat gumitit, bahkan keledai pun lebih terhormat dari kalian… jika ingin melebihi aku yang dulu kalian injak-injak belajarlah dulu dari hal-hal yang terdekat. Kepada Keledai,,, ia adalah guru pertama yang terbaik untuk kalian. Ini ejekan Lho….
Disini, aku duduk di kursi Parodi… sedangkan mereka sedang pentas di panggung Tragedi… Sungguh menyenangkan! Betapa bahagianya! Aku begitu menikmati pertunjukan itu pada awalnnya. Tertawa terbahak-bahak, sampai nafas tersengal-sengal. Tuhan begitu baik, karena membiarkan roda kehidupanku berjalan begitu lambat. Lama kesedihan, sakit hati, terhina dan rentan dibenci kurasakan sampai bosan, namun kini berganti menjadi gelak tawa yang tak bisa terputus, meski beberapa kali mengalami kejatuhan, namun selalu ada keberuntungan yang dapat mengembalikan seringai kemenanganku. Lama-lama bosan juga… Apakah aku bahagia?
Tidak!! Itu hanya sebuah kesenangan! Kepuasan. .. sementara pertunjukan masih tetap berlanjut, aku tidak dapat memungkiri bahwa kini aku bersimpati pada penderitaan mereka. Senyum itu kini tak lagi menyenangkan. Aku sadar Ia ingin ku belajar untuk memahami badan-badan tak bermakna dimana hanya mengikuti kehidupan yang “persetan apa itu norma dan agama”. Seonggok tulang dan daging yang telah menyeretku dalam kepahitan telah menambah makna dalam kehidupanku. Entahlah…. Kesadaran itu selalu datang seperti air yang mengalir, dan selalu ada hal-hal yang mengingatkanku untuk selalu bersyukur. Apakah aku bahagia?
Ia… aku bahagia dalam serba keterbatasan,,, kini ku selalu tersenyum dalam setiap cobaan, dan betapa aku mensyukuri nikmatnya sebuah kejatuhan atau indahnya sebuah kegagalan. Hampa itu kini telah terisi oleh berjuta-juta rasa. Kini tidak ada hitam dan putih, namun ternyata ada begitu banyak warna. Hei…! Sampai kapan kalian tenggelam dalam jurang itu? Aku sudah berhasil sampai diatas, dipermukaan…. Dan bukannya terkungkung di lubang hitam. Dan kalian salah… aku bukan asap yang senantiasa naik namun menghilang di ketinggian tertentu…
Kepada orang-orang dimasa lalu yang pernah menghantui kehidupan baruku, hm… berbahagialah, karena dengan itu kalian akan duduk bersamaku di kursi ini dan menonton mereka yang juga pernah menyakiti kalian di panggung Tragedi itu. Sadarlah ini sebuah siklus! Jika suatu saat kalian duduk disampingku hal yang ingin kusampaikan adalah
“Pertunjukan kalian bagus! Aku terhibur! Kesakitan itu begitu nikmat bukan? Sudah lama sekali tidak kurasakan, jika kurasakan lagi pun tidak ada gunanya, karena aku sudah kebal!! Dan…Betapa beruntungnya aku bertemu orang sebrengsek kalian. Ini pujian Lho….”
Ahihihihihihihihi….. sadarlah hei sarwa gumatat gumitit, bahkan keledai pun lebih terhormat dari kalian… jika ingin melebihi aku yang dulu kalian injak-injak belajarlah dulu dari hal-hal yang terdekat. Kepada Keledai,,, ia adalah guru pertama yang terbaik untuk kalian. Ini ejekan Lho….